Luas areal mangrove dulu dan saat ini
Saat ini di seluruh dunia terjadi peningkatan hilangnya sumberdaya mangrove yang disebabkan adanya pemanfaatan yang tidak berkelanjutan serta pengalihan peruntukan (Aksornkoae, 1993). Hal yang sama juga terjadi di Indonesia. Data perkiraan luas areal mangrove di Indonesia sangat beragam sehingga sulit untuk mengetahui secara pasti seberapa besar penurunan luas areal mangrove tersebut. Meskipun mangrove tidak terlalu sulit untuk dikenali dari foto penginderaan jarak jauh dan dipetakan, kenyataannya memperoleh data yang memadai mengenai luas mangrove pada masa yang lalu dan saat ini tidak terlalu mudah (di Indonesia data dimulai sejak 1930-an; lihat Kint, 1934).
Departemen Kehutanan (1997) menyebutkan luas yang diambil dari berbagai sumber berkisar antara 2,49 -4,25 juta hektar. Namun, terdapat jumlah luasan mangrove yang lain yaitu 4,54 juta hektar yang berasal dari ISME (Spalding, dkk, 1997) dan 3,53 juta hekar yang berasal dari Proyek Inventarisasi Hutan Nasional (Dit. Bina Program INT AG, 1996).
Perbedaan perkiraan luas tersebut setidaknya dipengaruhi oleh tiga halo. Pertama, sangat sedikit sekali dilakukannya penghitungan areal mangrove berdasarkan kondisi yang sebenarnya di alam, sehingga data yang sebenarnya telah kadaluwarsa diacu berulang- ulang (misalnya: Burbridge & Koesoebiono, 1980 dan Dit. Bina Program Dephut bersama FAO/UNDP, 1982). Kedua, perkiraan luas untuk Irian jaya yang merupakan komponen luasan terbesar sangat berbeda antara satu penulis dengan penulis lainnya, mulai dari 1,38 -2,94 juta hektar. Hal ini kembali disebabkan kurang tersedianya data serta peta yang memadai. Ketiga, adanya perbedaan metoda yang digunakan dalam menduga luasan mangrove.
Giesen (1993) mencoba menghitung luas areal asal mangrove berdasarkan seri RePPProT (1985-1989) dari peta Status Hutan, Tata Guna Lahan dan Sistem Lahan (skala 1 : 250.000) yang diproduksi oleh Departemen Transmigrasi. Dari tiga kategori yang dibuat oleh RePPProT, yaitu hutan bakau (Hv), hutan primer yang dieksploitasi kayunya (Ht) dan hutan pasang surut yang tidak dibedakan, termasuk bakau, nipah dan nibung (Hx) disatukan menjadi “habitat mangrove”, kemudian luas total mangrove untuk masing- masing propinsi dihitung. Untuk menghitung luas asal mangrove yang telah mengalami perubahan digunakan ektrapolasi dari data yang tersedia pada peta. jika sistem lahan khas habitat mangrove (KAJAPAH; RePPProT, 1987) di peta ternyata ditemukan secara faktual berada di luar atau berdekatan dengan kawasan mangrove yang ada saat ini, maka areal tersebut dianggap dulunya adalah hutan mangrove. Dengan menggunakan metoda seperti diatas, diketahui bahwa luas asal mangrove Indonesia seluas 4,13 juta hektar.
Selanjutnya dihitung luas areal mangrove yang tersisa berdasarkan perubahan-perubahan yang terjadi. Untuk Propinsi Aceh dan Bengkulu, luas areal mangrove yang peruntukannya telah dialihkan menjadi tambak dihitung dari luas total areal mangrove yang terdapat pada peta RePPProT. Luas areal mangrove yang ada di Propinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan dan Lampung dihitung berdasarkan data yang diperoleh selama kegiatan pengkajian lapangan yang dilaksanakan oleh AWB/PHPA pada tahun 1990 -1992. Penghitungan tersebut didasarkan pada citra satelit SPOT dah SLAR. Untuk Propinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan Maluku digunakan data yang berasal dari Ditjen Perikanan (.1991). Data luas mangrove di Jawa Tengan diadopsi dari White, dkk (1989), sementara data untuk Sulawesi Selatan diambil dari hasil penelitian Giesen, dkk (1991). Data untuk 10 Propinsi lainnya diambil dari RePPProT (1985-1989).
Dari penghitungan diketahui luas mangrove yang tersisa pada tahun 1990 hanya sekitar 2,49 juta hektar (60%). Dari luasan areal mangrove yang tersisa tersebut, 58% diantaranya terdapat di Papua, dan hanya 11% tersisa di Jawa. Sejalan dengan hal tersebut, laju hilangnya mangrove hingga tahun 1990 juga sangat beragam, antara hampir 10% di Papua hingga hampir 100% di Jawa Timur. Berdasarkan penghitungan diatas, jika perkiraan luas areal mangrove yang tersisa di Indonesia sekitar 2,49 juta hektar (1987- 1990) dapat diterima, maka hal tersebut berarti bahwa pada akhir tahun 1980.-an, Indonesia telah kehilangan sekitar 40% areal mangrovenya.
Hal yang perlu dicatat dari uraian diatas adalah mungkin luas areal mangrove yang dihitung merupakan jumlah yang optimistis. Dengan melihat kondisi lapangan saat ini, kemungkinan luasan mangrove tersebut sudah berkurang, yang berarti jumlah areal mangrove yang hilang semakin bertambah. Seperti yang telah disebutkan, data yang digunakan untuk penghitungan hingga tahun 1990 tersebut, saat itu telah berusia 3 - 7 tahun serta areal yang dipetakan dan dianggap sebagai mangrove hanya sebagian yang tercakup oleh tipe ini. Sebagai contoh, Giesen, dkk (1991) melaporkan meskipun 34.000 hektar hutan mangrove masih terdapat di Sulawesi Selatan, tetapi sebagian dari areal tersebut sebenarnya merupakan areal hutan mangrove yang telah mengalami gangguan dan dalam proses untuk dijadikan tambak. Mereka memperkirakan jumlah areal hutan mangrove yang belum terganggu di Sulawesi Selatan hanya sekitar 23.000 hektar.