Luas areal mangrove dulu dan saat ini
Saat ini di seluruh dunia terjadi peningkatan hilangnya sumberdaya mangrove yang disebabkan adanya pemanfaatan yang tidak berkelanjutan serta pengalihan peruntukan (Aksornkoae, 1993). Hal yang sama juga terjadi di Indonesia. Data perkiraan luas areal mangrove di Indonesia sangat beragam sehingga sulit untuk mengetahui secara pasti seberapa besar penurunan luas areal mangrove tersebut. Meskipun mangrove tidak terlalu sulit untuk dikenali dari foto penginderaan jarak jauh dan dipetakan, kenyataannya memperoleh data yang memadai mengenai luas mangrove pada masa yang lalu dan saat ini tidak terlalu mudah (di Indonesia data dimulai sejak 1930-an; lihat Kint, 1934).
Departemen Kehutanan (1997) menyebutkan luas yang diambil dari berbagai sumber berkisar antara 2,49 -4,25 juta hektar. Namun, terdapat jumlah luasan mangrove yang lain yaitu 4,54 juta hektar yang berasal dari ISME (Spalding, dkk, 1997) dan 3,53 juta hekar yang berasal dari Proyek Inventarisasi Hutan Nasional (Dit. Bina Program INT AG, 1996).
Perbedaan perkiraan luas tersebut setidaknya dipengaruhi oleh tiga halo. Pertama, sangat sedikit sekali dilakukannya penghitungan areal mangrove berdasarkan kondisi yang sebenarnya di alam, sehingga data yang sebenarnya telah kadaluwarsa diacu berulang- ulang (misalnya: Burbridge & Koesoebiono, 1980 dan Dit. Bina Program Dephut bersama FAO/UNDP, 1982). Kedua, perkiraan luas untuk Irian jaya yang merupakan komponen luasan terbesar sangat berbeda antara satu penulis dengan penulis lainnya, mulai dari 1,38 -2,94 juta hektar. Hal ini kembali disebabkan kurang tersedianya data serta peta yang memadai. Ketiga, adanya perbedaan metoda yang digunakan dalam menduga luasan mangrove.
Giesen (1993) mencoba menghitung luas areal asal mangrove berdasarkan seri RePPProT (1985-1989) dari peta Status Hutan, Tata Guna Lahan dan Sistem Lahan (skala 1 : 250.000) yang diproduksi oleh Departemen Transmigrasi. Dari tiga kategori yang dibuat oleh RePPProT, yaitu hutan bakau (Hv), hutan primer yang dieksploitasi kayunya (Ht) dan hutan pasang surut yang tidak dibedakan, termasuk bakau, nipah dan nibung (Hx) disatukan menjadi “habitat mangrove”, kemudian luas total mangrove untuk masing- masing propinsi dihitung. Untuk menghitung luas asal mangrove yang telah mengalami perubahan digunakan ektrapolasi dari data yang tersedia pada peta. jika sistem lahan khas habitat mangrove (KAJAPAH; RePPProT, 1987) di peta ternyata ditemukan secara faktual berada di luar atau berdekatan dengan kawasan mangrove yang ada saat ini, maka areal tersebut dianggap dulunya adalah hutan mangrove. Dengan menggunakan metoda seperti diatas, diketahui bahwa luas asal mangrove Indonesia seluas 4,13 juta hektar.
Selanjutnya dihitung luas areal mangrove yang tersisa berdasarkan perubahan-perubahan yang terjadi. Untuk Propinsi Aceh dan Bengkulu, luas areal mangrove yang peruntukannya telah dialihkan menjadi tambak dihitung dari luas total areal mangrove yang terdapat pada peta RePPProT. Luas areal mangrove yang ada di Propinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan dan Lampung dihitung berdasarkan data yang diperoleh selama kegiatan pengkajian lapangan yang dilaksanakan oleh AWB/PHPA pada tahun 1990 -1992. Penghitungan tersebut didasarkan pada citra satelit SPOT dah SLAR. Untuk Propinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan Maluku digunakan data yang berasal dari Ditjen Perikanan (.1991). Data luas mangrove di Jawa Tengan diadopsi dari White, dkk (1989), sementara data untuk Sulawesi Selatan diambil dari hasil penelitian Giesen, dkk (1991). Data untuk 10 Propinsi lainnya diambil dari RePPProT (1985-1989).
Dari penghitungan diketahui luas mangrove yang tersisa pada tahun 1990 hanya sekitar 2,49 juta hektar (60%). Dari luasan areal mangrove yang tersisa tersebut, 58% diantaranya terdapat di Papua, dan hanya 11% tersisa di Jawa. Sejalan dengan hal tersebut, laju hilangnya mangrove hingga tahun 1990 juga sangat beragam, antara hampir 10% di Papua hingga hampir 100% di Jawa Timur. Berdasarkan penghitungan diatas, jika perkiraan luas areal mangrove yang tersisa di Indonesia sekitar 2,49 juta hektar (1987- 1990) dapat diterima, maka hal tersebut berarti bahwa pada akhir tahun 1980.-an, Indonesia telah kehilangan sekitar 40% areal mangrovenya.
Hal yang perlu dicatat dari uraian diatas adalah mungkin luas areal mangrove yang dihitung merupakan jumlah yang optimistis. Dengan melihat kondisi lapangan saat ini, kemungkinan luasan mangrove tersebut sudah berkurang, yang berarti jumlah areal mangrove yang hilang semakin bertambah. Seperti yang telah disebutkan, data yang digunakan untuk penghitungan hingga tahun 1990 tersebut, saat itu telah berusia 3 - 7 tahun serta areal yang dipetakan dan dianggap sebagai mangrove hanya sebagian yang tercakup oleh tipe ini. Sebagai contoh, Giesen, dkk (1991) melaporkan meskipun 34.000 hektar hutan mangrove masih terdapat di Sulawesi Selatan, tetapi sebagian dari areal tersebut sebenarnya merupakan areal hutan mangrove yang telah mengalami gangguan dan dalam proses untuk dijadikan tambak. Mereka memperkirakan jumlah areal hutan mangrove yang belum terganggu di Sulawesi Selatan hanya sekitar 23.000 hektar.
Fungsi Utama Mangrove
Mangrove memiliki peranan penting dalam melindungi pantai dari gelombang, angin dan badai. Tegakan mangrove dapat melindungi pemukiman, bangunan dan pertanian dari angin kencang atau intrusi air laut. Mangrove juga terbukti memainkan peran penting dalam melindungi pesisir dari gempuran badai. Dusun Tongke-tongke dan Pangasa, Sinjai, Sulawesi Selatan yang memiliki barisan mangrove yang tebal di pantai terlindung dari gelombang pasang (Tsunami) di pulau Flores pada akhir tahun 1993. Sedangkan beberapa dusun yang berbatasan dengan kedua dusun ini yang tidak mempunyai mangrove yang cukup tebal mengalami kerusakan yang cukup parah. Di Bangladesh, pada bulan Juni 1985 sebanyak 40.000 penduduk yang tinggal di pesisir dihantam badai. Mengetahui manfaat mangrove dalam menahan gempuran badai, pemerintah Bangladesh kemudian melakukan penanaman seluas 25.000 hektar areal pantai dengan vegetasi mangrove (Maltby, 1986).
Kemampuan mangrove untuk mengembangkan wilayahnya ke arah laut merupakan salah satu peran penting mangrove dalam pembentukan lahan baru. Akar mangrove mampu mengikat dan menstabilkan substrat lumpur, pohonnya mengurangi energi gelombang dan memperlambat arus, sementara vegetasi secara keseluruhan dapat memerangkap sedimen (Davies and Claridge, 1993 dan Othman, 1994). Pada awalnya, proses pengikatan sedimen oleh mangrove dianggap sebagai suatu proses yang aktif, dimana jika terdapat mangrove otomatis akan terdapat tanah timbul (Steup, 1941). Berbagai penelitian (van Steenis, 1958 dan Chapman, 1977) kemudian menyebutkan bahwa proses pengikatan dan penstabilan tersebut ternyata hanya terjadi pada pantai yang telah berkembang. Satu hal yang penting adalah vegetasi mangrove mempunyai peranan yang besar dalam mempertahankan lahan yang telah dikolonisasinya, terutama dari ombak dan arus laut. Pada pulau-pulau di daerah delta yang berlumpur halus ditumbuhi mangrove, peranan mangrove sangat besar untuk mempertahankan pulau tersebut. Sebaliknya, pada pulau yang hilang mangrovenya, pulau tersebut mudah disapu ombak dan arus musiman (Chambers, 1980).
Peranan mangrove dalam menunjang kegiatan perikanan pantai dapat disarikan dalam dua hal. Pertama, mangrove berperan penting dalam siklus hidup berbagai jenis ikan, perlindungan dan makanan berupa bahan-bahan organik yang masuk kedalam rantai makanan. Kedua, mangrove merupakan pemasok bahan organik, sehingga dapat menyediakan makanan untuk organisme yang hidup pada perairan sekitarnya (Mann, 1982). Produksi serasah mangrove berperan penting dalam kesuburan perairan pesisir dan hutan mangrove dianggap yang paling produktif diantara ekosistem pesisir (Odum, dkk, 1974). Di Indonesia, produksi serasah mangrove berkisar antara 7 – 8 ton/ha/ tahun (Nontji, 1987).
Manfaat Mangrove
Mangrove memiliki berbagai macam manfaat bagi kehidupan manusia dan lingkungan sekitarnya. Bagi masyarakat pesisir, pemanfaatan mangrove untuk berbagai tujuan telah dilakukan sejak lama. Akhir-akhir ini, peranan mangrove bagi lingkungan sekitarnya dirasakan sangat besar setelah berbagai dampak merugikan dirasakan diberbagai tempat akibat hilangnya mangrove.
Mangrove merupakan ekosistem yang sangat produktif. Berbagai produk dari mangrove dapat dihasilkan baik secara langsung maupun tidak langsung, diantaranya: kayu bakar, bahan bangunan, keperluan rumah tangga, kertas, kulit, obat-obatan dan perikanan . Melihat beragamnya manfaat mangrove, maka tingkat dan laju perekonomian pedesaan yang berada di kawasan pesisir seringkali sangat bergantung pada habitat mangrove yang ada di sekitarnya. Contohnya, perikanan pantai yang sangat dipengaruhi oleh keberadaan mangrove, merupakan produk yang secara tidak langsung mempengaruhi taraf hidup dan perekonomian desa-desa nelayan.
Sejarah pemanfaatan mangrove secara tradisional oleh masyarakat untuk kayu bakar dan bangunan telah berlangsung sejak lama. Bahkan pemanfaatan mangrove untuk tujuan komersial seperti ekspor kayu, kulit (untuk tanin) dan arang juga memiliki sejarah yang panjang. Pembuatan arang mangrove telah berlangsung sejak abad yang lalu di Riau dan masih berlangsung hingga kini. Eksplotasi mangrove dalam skala besar di Indonesia nampaknya dimulai awal abad ini, terutama di Jawa dan Sumatera (van Bodegom, 1929; Boon, 1936), meskipun eksplotasi sesungguhnya dengan menggunakan mesin-mesin berat nampaknya baru dimulai pada tahun 1972 (Dephut & FAO, 1990).
Pada tahun 1985, sejumlah 14 perusahaan telah diberikan ijin pengusahaan hutan yang mencakup sejumlah 877.200 hektar areal mangrove, atau sekitar 35% dari areal mangrove yang tersisa (Dephut & FAO, 1990).
Nampaknya produk yang paling memiliki nilai ekonomis tinggi dari ekosistem mangrove adalah perikanan pesisir. Banyak jenis ikan yang bernilai ekonomi tinggi menghabiskan sebagian siklus hidupnya pada habitat mangrove (Sasekumar, dkk, 1992 dan Burhanuddin, 1993). Kakap (Lates calcacifer), kepiting mangrove (Scylla serrata) serta ikan salmon (Polynemus sheridani) merupakan jenis ikan yang secara langsung bergantung kepada habitat mangrove (Griffin, 1985). Menurut Unar (dalam Djamali, 1991) beberapa jenis udang penaeid di Indonesia sangat tergantung pada ekosistem mangrove. Martosubroto & Naamin (dalam Djamali, 1991) mengemukakan adanya hubungan linier positif antara luas hutan mangrove dengan produksi udang, dimana makin luas hutan mangrove makin tinggi produksi udangnya dan sebaliknya. Hal ini didukung oleh berbagai penelitian di negara-negara lain
Keberadaan mangrove berkaitan erat dengan tingkat produksi perikanan. Di Indonesia hal ini dapat dilihat bahwa daerah-daerah perikanan potensial seperti di perairan sebelah timur Sumatera, pantai selatan dan timur Kalimantan, pantai Cilacap dan pantai selatan Irian Jaya yang kesemuanya masih berbatasan dengan hutan mangrove yang cukup luas dan bahkan masih perawan (Soewito, 1984). Sebaliknya, menurunnya produksi perikanan di Bagansiapi- api, dimana sebelum perang dunia II merupakan penghasil ikan utama di Indonesia bahkan sebagai salah satu penghasil ikan utama di dunia, salah satunya disebabkan oleh rusaknya mangrove di daerah sekitarnya (Kasry, 1984).
Sebagian besar kegiatan penangkapan ikan di Indonesia berlangsung di dekat pantai. Kegiatan ini umumnya dilakukan oleh komunitas nelayan setempat dengan pola yang tradisional atau oleh nelayan modern yang datang dari kota pelabuhan besar. Pada tahun 1998 total produksi perikanan laut Indonesia adalah sekitar 3,6 juta ton yang melibatkan tidak kurang dari 478.250 keluarga (BPS, 1998).
Mangrove merupakan ekosistem yang sangat produktif. Berbagai produk dari mangrove dapat dihasilkan baik secara langsung maupun tidak langsung, diantaranya: kayu bakar, bahan bangunan, keperluan rumah tangga, kertas, kulit, obat-obatan dan perikanan . Melihat beragamnya manfaat mangrove, maka tingkat dan laju perekonomian pedesaan yang berada di kawasan pesisir seringkali sangat bergantung pada habitat mangrove yang ada di sekitarnya. Contohnya, perikanan pantai yang sangat dipengaruhi oleh keberadaan mangrove, merupakan produk yang secara tidak langsung mempengaruhi taraf hidup dan perekonomian desa-desa nelayan.
Sejarah pemanfaatan mangrove secara tradisional oleh masyarakat untuk kayu bakar dan bangunan telah berlangsung sejak lama. Bahkan pemanfaatan mangrove untuk tujuan komersial seperti ekspor kayu, kulit (untuk tanin) dan arang juga memiliki sejarah yang panjang. Pembuatan arang mangrove telah berlangsung sejak abad yang lalu di Riau dan masih berlangsung hingga kini. Eksplotasi mangrove dalam skala besar di Indonesia nampaknya dimulai awal abad ini, terutama di Jawa dan Sumatera (van Bodegom, 1929; Boon, 1936), meskipun eksplotasi sesungguhnya dengan menggunakan mesin-mesin berat nampaknya baru dimulai pada tahun 1972 (Dephut & FAO, 1990).
Pada tahun 1985, sejumlah 14 perusahaan telah diberikan ijin pengusahaan hutan yang mencakup sejumlah 877.200 hektar areal mangrove, atau sekitar 35% dari areal mangrove yang tersisa (Dephut & FAO, 1990).
Nampaknya produk yang paling memiliki nilai ekonomis tinggi dari ekosistem mangrove adalah perikanan pesisir. Banyak jenis ikan yang bernilai ekonomi tinggi menghabiskan sebagian siklus hidupnya pada habitat mangrove (Sasekumar, dkk, 1992 dan Burhanuddin, 1993). Kakap (Lates calcacifer), kepiting mangrove (Scylla serrata) serta ikan salmon (Polynemus sheridani) merupakan jenis ikan yang secara langsung bergantung kepada habitat mangrove (Griffin, 1985). Menurut Unar (dalam Djamali, 1991) beberapa jenis udang penaeid di Indonesia sangat tergantung pada ekosistem mangrove. Martosubroto & Naamin (dalam Djamali, 1991) mengemukakan adanya hubungan linier positif antara luas hutan mangrove dengan produksi udang, dimana makin luas hutan mangrove makin tinggi produksi udangnya dan sebaliknya. Hal ini didukung oleh berbagai penelitian di negara-negara lain
Keberadaan mangrove berkaitan erat dengan tingkat produksi perikanan. Di Indonesia hal ini dapat dilihat bahwa daerah-daerah perikanan potensial seperti di perairan sebelah timur Sumatera, pantai selatan dan timur Kalimantan, pantai Cilacap dan pantai selatan Irian Jaya yang kesemuanya masih berbatasan dengan hutan mangrove yang cukup luas dan bahkan masih perawan (Soewito, 1984). Sebaliknya, menurunnya produksi perikanan di Bagansiapi- api, dimana sebelum perang dunia II merupakan penghasil ikan utama di Indonesia bahkan sebagai salah satu penghasil ikan utama di dunia, salah satunya disebabkan oleh rusaknya mangrove di daerah sekitarnya (Kasry, 1984).
Sebagian besar kegiatan penangkapan ikan di Indonesia berlangsung di dekat pantai. Kegiatan ini umumnya dilakukan oleh komunitas nelayan setempat dengan pola yang tradisional atau oleh nelayan modern yang datang dari kota pelabuhan besar. Pada tahun 1998 total produksi perikanan laut Indonesia adalah sekitar 3,6 juta ton yang melibatkan tidak kurang dari 478.250 keluarga (BPS, 1998).
Mamalia di hutan Mangrove
Mamalia yang umum ditemukan pada habitat mangrove diantaranya adalah babi liar (Sus scrofa), kancil (Tragulus spp.), kelelawar (Pteropus spp.) berang-berang (Lutra perspicillata dan Amblyonyx cinerea), lutung (Trachypithecus aurata), Bekantan (Nasalis larvatus; endemik Kalimantan) dan kucing bakau (Felis viverrina) (MacNae, 1968; Payne, Francis & Phillipps, 1985; Melisch, dkk, 1993). Tidak satupun dari mamalia diatas hidup secara eksklusif di mangrove. Bekantan tadinya dianggap hanya hidup pada habitat mangrove, kemudian diketahui bahwa mereka juga menggunakan hutan rawa gambut (Payne, dkk, 1985). Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) umum ditemukan di daerah mangrove dan sering terlihat mencari makan pada hamparan lumpur di sekitar mangrove. Macaca ochreata ochreata (endemik Sulawesi) pada masa lalu umum terlihat di daerah mangrove dekat Malili, Teluk Bone, Sulawesi Selatan (Giesen, dkk, 1991).
Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatranus) masih ditemukan di wilayah Sungai Sembilang, Sumatera Selatan (Danielsen & Verheugt, 1989), dimana jika areal ini digabungkan dengan areal Taman Nasional Berbak di Jambi, dapat dianggap sebagai tempat hidup harimau Sumatera yang terbaik (Frazier, 1992). Dari empat jenis berang- berang yaitu Aonyx cinerea, Lutra lutra, Lutra sumatrana dan Lutra perspicillata yang diketahui hidup di Indonesia juga ditemukan di hutan mangrove. Dari kelompok mamalia air, dua jenis lumba-lumba yaitu Orcella brevirostris dan Sousa chinensis juga ditemukan di daerah muara sekitar hutan bakau, sedangkan mamalia udara yang sering ditemukan adalah Pteropus vampirus.
Jenis-jenis Burung Yang Hidup di Mangrove
Jenis-jenis burung yang hidup di daerah mangrove tampaknya tidak terlalu berbeda dengan jenis-jenis yang hidup di daerah hutan sekitarnya. Mereka menggunakan mangrove sebagai habitat untuk mencari makan, berbiak atau sekedar beristirahat. Bagi beberapa jenis burung air, seperti Kuntul (Egretta spp), Bangau (Ciconiidae) atau Pecuk (Phalacrocoracidae), daerah mangrove menyediakan ruang yang memadai untuk membuat sarang, terutama karena minimnya gangguan yang ditimbulkan oleh predator.
Bagi jenis-jenis pemakan ikan, seperti kelompok burung Raja Udang (Alcedinidae), mangrove menyediakan tenggeran serta sumber makanan yang berlimpah. Bagi berbagai jenis burung air migran (khususnya Charadriidae dan Scolopacidae), mangrove memainkan peranan yang sangat penting dalam migrasi mereka. Mangrove tidak hanya sebagai tempat perhentian, akan tetapi juga sebagai tempat perlindungan dan mencari makan. Beberapa lokasi yang sangat penting bagi burung bermigrasi diantaranya adalah Pantai Timur Sumatera (Danielsen & Verheugt, 1989; Rusila 1991; Giesen, 1991;), Pantai Utara Jawa (Erftemeijer & Djuharsa, 1988 dan Rusila 1987) dan Pantai Barat Sulawesi Selatan (Baltzer, 1990 dan Giesen, dkk, 1991). Sementara itu, beberapa daerah lain di Kalimantan, Sulawesi dan Irian kemungkinan juga merupakan lokasi-lokasi yang penting, akan tetapi masih diperlukan survey yang lebih mendalam untuk membuktikan hal tersebut. Balen (1988) mencatat sebanyak 167 jenis burung terestrial di hutan mangrove Pulau Jawa, merupakan 34 % dari seluruh jenis burung yang telah tercatat di Pulau Jawa (Andrew, 1992). Verheught, dkk (1993) menemukan sebanyak 120 jenis burung (atau 150 jenis jika termasuk daerah lumpur disekitar hutan mangrove) di daerah limpasan banjir dan pasang surut di Sumatera Selatan (56% dari total burung yang ditemukan di daerah tersebut atau 25% dari seluruh jenis burung di Sumatera). Di Sulawesi Selatan, Baltzer (1990) melaporkan dari 141 jenis burung yang ditemukan di lahan basah propinsi tersebut, sebanyak 81 jenis ditemukan di hutan mangrove (58 % atau 21 % dari seluruh burung di Sulawesi). Sementara itu, di Irian Jaya, Erftmeijer, dkk (1991) menemukan 64 jenis burung hidup di hutan mangrove diantara 90 jenis yang ditemukan di teluk Bintuni (71% atau 10% dari seluruh burung di Irian Jaya). Disamping itu, dari 17% total jumlah burung yang tercatat di Pulau Sumba, 27 jenis ditemukan di daerah Mangrove Pulau Sumba (Zieren, dkk, 1990).
Pangkalan Data Lahan Basah (Wetland Data Base) mencatat setidaknya 200 jenis burung hidup bergantung pada habitat mangrove. Jumlah ini mewakili 13% dari seluruh jenis burung yang ada di Indonesia (Andrew, 1992). Mangrove juga merupakan habitat yang baik bagi beberapa jenis burung yang telah langka atau terancam kepunahan, seperti: Wilwo (Mycteria cinerea - Milky Stork - Ciconiidae). Jenis ini telah dianggap sebagai salah satu jenis bangau yang paling terancam di seluruh dunia (Verheught, 1987). Populasinya diperkirakan hanya tinggal berjumlah 5000 - 6000 ekor saja (Verheught, 1987 dan Rose & Scott, 1994), dimana lebih dari 90% diantaranya ditemukan di daerah hutan bakau di Indonesia, terutama di Sumatera dan Jawa. Mereka hanya diketahui berbiak di hutan mangrove di Hutan Bakau Pantai Timur (Danielsen dan Skov, 1987), Tanjung Koyan, hutan bakau Tanjung Selokan dan hutan bakau Semenanjung Banyuasin, seluruhnya di Sumatera Selatan (Danielsen, dkk, 1991). Di Jawa jenis ini hanya diketahui berbiak di hutan bakau Pulau Rambut (Allport & Wilson, 1986 dan Rusila, dkk, 1994).
Bubut hitam (Centropus nigrorufus - Sunda Coucal - Cuculidae). Jenis ini telah tercantum dalam Red Data Book dalam kategori Vulnerable. Merupakan jenis endemik Pulau Jawa. Pada saat ini, jenis ini diperkirakan hanya bertahan hidup di kawasan hutan mangrove dan rawa sekitar Tanjung Karawang, Indramayu dan Segara Anakan (Andrew, 1990).
Bangau tongtong (Leptoptilos javanicus - Lesser Adjutant - Ciconiidae). Bagi jenis yang tergolong vulnerable ini, hutan mangrove merupakan habitat penting untuk bersarang atau mencari makan (Silvius & Verheught, 1989). Populasi mereka sebagian besar terdapat di pantai timur Sumatera (Sumatera Selatan, Jambi dan Riau) dan beberapa kawasan hutan bakau di Delta Sungai Brantas dan Bengawan Solo, pantai utara Jawa (Erftmeijer & Djuharsa, 1988) serta hutan mangrove di Segara Anakan yang merupakan hutan mangrove terbesar yang saat ini tersisa di Pulau Jawa (Erftmeijer, dkk, 1988).
Bagi jenis-jenis pemakan ikan, seperti kelompok burung Raja Udang (Alcedinidae), mangrove menyediakan tenggeran serta sumber makanan yang berlimpah. Bagi berbagai jenis burung air migran (khususnya Charadriidae dan Scolopacidae), mangrove memainkan peranan yang sangat penting dalam migrasi mereka. Mangrove tidak hanya sebagai tempat perhentian, akan tetapi juga sebagai tempat perlindungan dan mencari makan. Beberapa lokasi yang sangat penting bagi burung bermigrasi diantaranya adalah Pantai Timur Sumatera (Danielsen & Verheugt, 1989; Rusila 1991; Giesen, 1991;), Pantai Utara Jawa (Erftemeijer & Djuharsa, 1988 dan Rusila 1987) dan Pantai Barat Sulawesi Selatan (Baltzer, 1990 dan Giesen, dkk, 1991). Sementara itu, beberapa daerah lain di Kalimantan, Sulawesi dan Irian kemungkinan juga merupakan lokasi-lokasi yang penting, akan tetapi masih diperlukan survey yang lebih mendalam untuk membuktikan hal tersebut. Balen (1988) mencatat sebanyak 167 jenis burung terestrial di hutan mangrove Pulau Jawa, merupakan 34 % dari seluruh jenis burung yang telah tercatat di Pulau Jawa (Andrew, 1992). Verheught, dkk (1993) menemukan sebanyak 120 jenis burung (atau 150 jenis jika termasuk daerah lumpur disekitar hutan mangrove) di daerah limpasan banjir dan pasang surut di Sumatera Selatan (56% dari total burung yang ditemukan di daerah tersebut atau 25% dari seluruh jenis burung di Sumatera). Di Sulawesi Selatan, Baltzer (1990) melaporkan dari 141 jenis burung yang ditemukan di lahan basah propinsi tersebut, sebanyak 81 jenis ditemukan di hutan mangrove (58 % atau 21 % dari seluruh burung di Sulawesi). Sementara itu, di Irian Jaya, Erftmeijer, dkk (1991) menemukan 64 jenis burung hidup di hutan mangrove diantara 90 jenis yang ditemukan di teluk Bintuni (71% atau 10% dari seluruh burung di Irian Jaya). Disamping itu, dari 17% total jumlah burung yang tercatat di Pulau Sumba, 27 jenis ditemukan di daerah Mangrove Pulau Sumba (Zieren, dkk, 1990).
Pangkalan Data Lahan Basah (Wetland Data Base) mencatat setidaknya 200 jenis burung hidup bergantung pada habitat mangrove. Jumlah ini mewakili 13% dari seluruh jenis burung yang ada di Indonesia (Andrew, 1992). Mangrove juga merupakan habitat yang baik bagi beberapa jenis burung yang telah langka atau terancam kepunahan, seperti: Wilwo (Mycteria cinerea - Milky Stork - Ciconiidae). Jenis ini telah dianggap sebagai salah satu jenis bangau yang paling terancam di seluruh dunia (Verheught, 1987). Populasinya diperkirakan hanya tinggal berjumlah 5000 - 6000 ekor saja (Verheught, 1987 dan Rose & Scott, 1994), dimana lebih dari 90% diantaranya ditemukan di daerah hutan bakau di Indonesia, terutama di Sumatera dan Jawa. Mereka hanya diketahui berbiak di hutan mangrove di Hutan Bakau Pantai Timur (Danielsen dan Skov, 1987), Tanjung Koyan, hutan bakau Tanjung Selokan dan hutan bakau Semenanjung Banyuasin, seluruhnya di Sumatera Selatan (Danielsen, dkk, 1991). Di Jawa jenis ini hanya diketahui berbiak di hutan bakau Pulau Rambut (Allport & Wilson, 1986 dan Rusila, dkk, 1994).
Bubut hitam (Centropus nigrorufus - Sunda Coucal - Cuculidae). Jenis ini telah tercantum dalam Red Data Book dalam kategori Vulnerable. Merupakan jenis endemik Pulau Jawa. Pada saat ini, jenis ini diperkirakan hanya bertahan hidup di kawasan hutan mangrove dan rawa sekitar Tanjung Karawang, Indramayu dan Segara Anakan (Andrew, 1990).
Bangau tongtong (Leptoptilos javanicus - Lesser Adjutant - Ciconiidae). Bagi jenis yang tergolong vulnerable ini, hutan mangrove merupakan habitat penting untuk bersarang atau mencari makan (Silvius & Verheught, 1989). Populasi mereka sebagian besar terdapat di pantai timur Sumatera (Sumatera Selatan, Jambi dan Riau) dan beberapa kawasan hutan bakau di Delta Sungai Brantas dan Bengawan Solo, pantai utara Jawa (Erftmeijer & Djuharsa, 1988) serta hutan mangrove di Segara Anakan yang merupakan hutan mangrove terbesar yang saat ini tersisa di Pulau Jawa (Erftmeijer, dkk, 1988).
Langganan:
Postingan (Atom)